Benigna Prostat Hipertropi (BPH)

A.    Pengertian
Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan jaringan selular kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Prostat adalah kelenjar yang berlapis kapsula dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

B.     Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa faktor kemungkinan penyebab antara lain :


1.      Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2.      Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3.      Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4.      Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat
5.      Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transi

C.    Manifestasi Klinis
1.    Gejala iritatif meliputi :
a.    Peningkatan frekuensi berkemih
b.    Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c.    Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d.   Nyeri pada saat miksi (disuria)
2.    Gejala obstruktif meliputi :
a.    Pancaran urin melemah
b.    Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c.    Kalau mau miksi harus menunggu lama
d.   Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
e.    Urin terus menetes setelah berkemih
f.     Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia  karena penumpukan berlebih.
g.    Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah  nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
3.    Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

D.    Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir. seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine adan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal.




A.    Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
 







A.    Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan   didasarkan  pada  sistem – sistem  tubuh    antara  lain:
1)      Keadaan  umum
Setelah   operasi  klien  dalam  keadaan  lemah  dan  kesadaran  baik,  kecuali bila  terjadi  shock. Tensi, nadi  dan  kesadaran  pada  fase awal (6 jam)  pasca  operasi  harus  diminitor  tiap jam  dan  dicatat.  Bila  keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali.
2)       Sistem  pernafasan
Klien  yang  menggunakan  anasthesi  SAB  tidak  mengalami kelumpuhan mengalami pernapasan  kecuali  bila  dengan  konsentrasi tinggi mencapai  daerah  thorakal  atau  servikal.


3)      Sistem  sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perderahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan keluaran.
4)      Sistem  neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan(relaksasi otot) dan mati  rasa  karena  pengaruh  anasthesi  SAB.
5)      Sistem  gastrointestinal.
Anasthesi  SAB  menyebabkan  klien  pusing,  mual  dan. Kaji   bising  usus  dan  adanya  massa  pada  adomen .
6)      Sistem  urogenital
Setelah  dilakukan  tindakan  TURP  klien  akan  mengalami  hematuri. Retensi  dapat  terjadi  bila  kateter  tersumbat  bekuan  darah. Jika  terjadi  retensi  urin,  daerah  supra  sinfiser   akan   terlihat menonjol,  terasa  ada  ballotemen  jika   dipalpasi dan  klien terasa  ingin. Residual  urin  dapat  diperkirakan  dengan  cara  perkusi. Traksi  kateter dilonggarkan  selama  6 - 24  jam.
7)      Sistem  muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagan paha klien dan tidak boleh fleksi selaama traksi masih diperlukan.

B.     Pemeriksaan Penunjang
1.    Pemeriksaan  Laboratorium
·      Pemeriksaan  darah  lengkap,  faal  ginjal,  serum  elektroli dan  kadar  gula  digunakan  untuk  memperoleh  data dasar   keadaan  umum  klien.
·      Pemeriksaan  urin  lengkap  dan  kultur.
·      PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.

2.    Pemeriksaan  Uroflowmetri.
Setelah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara objektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:
·      Flow  rate  maksimal  >  15 ml / dtk    =  non  obstruktif.
·      Flow  rate  maksimal 10 – 15  ml / dtk =  border  line.
·      Flow  rate  maksimal  <  10 ml / dtk    =  obstruktif.

3.    Pemeriksaan  Imaging  dan  Rontgenologik
·         BOF (Buik Overzich) untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
·         USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra publik.
·         IVP ( Pyelografi Intravena) digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
·         Pemeriksaan Panendoskop, untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-buli.
4.    Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
5.    Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.

C.    Penatalaksanaan Medis
1.      Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.
2.      Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya:Hipoxix rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3.      Pembedahan
Indikasi  pembedahan  pada  BPH  adalah :
a.       Klien mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b.      Klien  dengan  residual  urin  >  100  ml.
c.       Klien  dengan  penyulit.
d.      Terapi  medikamentosa  tidak  berhasil.
e.       Flowmetri  menunjukkan  pola  obstruktif.
Pembedahan  dapat  dilakukan  dengan :
a.         TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 – 95  % ) yaitu suatu tindakan untuk menghilang ostruksi prostat dengan menggunakan cyctoscope melalui melalui uretra. Tindakan ini dilakukan pada BPH grade I.
b.        Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy, pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah tapi kandung kemih tidak dibuka.
c.         Perianal Prostatectomy, dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi dibuat diantara scrotum dan rectum.
d.        Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy, metode operasi terbuka, reseksi supra pubic kelenjar prostat diangkat dari urethra lewat kandung kemih.
e.         Alternatif  lain  (misalnya:  Kriyoterapi,  Hipertermia,  Termoterapi,  Terapi  Ultrasonik

D.    Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Pre operasi
-       Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
-       Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses bedah.
-       Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologi
-       Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih.
b. Post operasi
-       Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
-       Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
-       Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya paparan informasi.
-       Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi.
-       Disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten dari TURP

Rencana Tindakan Keperawatan
No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
1
Nyeri Akut berhubungan dengan Agen injuri fisik (pembedahan)
Setelah dilakukan askep …. jam tingkat kenyamanan klien meningkat, nyeri terkontrol dengan KH:
-klien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri 2-3
-Ekspresi wajah tenang & dapat istirahat, tidur.
-Vital Sign normal (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-20x/mnt).
Manajemen nyeri :
·      Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
·      Observasi  reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
·      Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
·      Berikan lingkungan yang tenang
·      Kurangi faktor presipitasi nyeri.
·      Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri.
·      Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
·      Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
·      Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil.
·      Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :.
·           Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
·           Cek riwayat alergi.
·           Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
·           Monitor V/S
·           Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
·           Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
2
Resiko infeksi b/d pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat, prosedur invasif, luka pembedahan.
Setelah dilakukan askep …. jam infeksi terkontrol dan terdeteksi dg KH:
·   bebas dari tanda dan gejala infeksi,
·   angka lekosit normal (4-11.000)
·   V/S dbn
Kontrol infeksi :
·           Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
·           Batasi pengunjung bila perlu.
·           Anjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien.
·           Gunakan sabun anti microba untuk mencuci tangan.
·           Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
·           Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
·           Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
·           Lakukan perawatan luka dan dresing infus,DC setiap hari.
·           Tingkatkan intake nutrisi. Dan cairan yang adekuat
·           berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi
·           Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
·           Monitor hitung granulosit dan WBC.
·           Monitor kerentanan terhadap infeksi.
·           Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
·           Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
·           Inspeksi keadaan luka dan sekitarnya
·           Ambil kultur jika perlu
·           Dorong klien untuk intake nutrisi dan cairan yang adekuat.
·           Anjurkan  istirahat yang cukup.
·           Monitor perubahan tingkat energi.
·           Ajari dan anjurkan klien untuk meningkatkan mobilitas dan latihan.
·           Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.
·           Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.
-           Laporkan kecurigaan infeksi.
3
Kurang pengetahuan ttng penyakit, perawata,pengobatan
Nya d/g kurang familier terhadap informasi, terbatasnya kognitif. 
Setelah dilakukan askep .... jam, pengetahuan klien meningkat. Dg KH:
·   Klien/klg mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
·   Klien /klg kooperative saat dilakukan tindakan

Teaching : Dissease Process
·       Kaji  tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit
·       Jelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebabnya
·       Sediakan informasi tentang kondisi klien
·       Berikan informasi tentang perkembangan klien
·       Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau kontrol proses penyakit
·       Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan
·       Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi
·       Dorong klien untuk menggali pilihan-pilihan atau memperoleh alternatif pilihan
·       Gambarkan komplikasi yang mungkin terjadi
·       Anjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit
·       Gali sumber-sumber atau dukungan yang ada
·       Anjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada petugas kesehatan
-       kolaborasi dg  tim yang lain.
4
Sindrom defisit self care b/d kelemahan dan nyeri, penyakitnya
Setelah dilakukan asuhan keperawatan …. jam klien mampu Perawatan diri
dengan KH:
·   Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari (makan, berpakaian, kebersihan, toileting, ambulasi)
·   Kebersihan diri pasien terpenuhi
Bantuan perawatan diri makan, kebersihan, berpakaian, toileting dan ambulasi)
·            Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
·            Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan dan ambulasi
·            Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
·            Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
·            Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
·            Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
·            Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
-            Berikan reinforcement positip atas usaha yang dilakukan dalam melakukan perawatan sehari hari.
5
PK:  Perdarahan
Setelah dilakukan askep …. jam perawat akan menangani atau mengurangi komplikasi dari pada perdarahan dan klien mengalami peningkatan Hb/> 10 gr %
-            Pantau tanda dan gejala perdarahan post operasi (drainage, urine)
-            Monitor V/S
-            Pantau laborat Hb, HMT. AT
-            kolaborasi untuk tranfusi bila  terjadi perdarahan (hb < 10 gr%)
-            Kolaborasi dengan dokter untuk terapinya
-            Pantau daerah yang dilakukan operasi
 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »